Minggu, 31 Januari 2010

BUSTED !

Jadi ternyata setelah pake nama samaran akhirnya blog ini ketauan juga sama ferdi. Ya, emang gak ngefek banyak toh dia juga udah tau saat-saat terancurku. Tapi dari sini dia jadi tau (atau mungkin membuktikan hipotesanya) kalo tingkat move on ku gak sampe 5% :P

Ok mis, kalo kamu sempet baca postingan ini mohon tinggalkan jejak...

Tapi Tidak

Beberapa hari terakhir ini hidupku nyaris mendekati normal. Aku bahkan udah bisa ketawa. Sejak aku nemuin dvd gossip girl 1 season yang dulu-dulu belom sempet aku sentuh. Berkencan dengan dvd gossip girl every night and every day, paling gak drama seri itu ngasih aku harapan baru. Bahwa ya, hidup gak pernah sesimpel yang kita rencanain. Dan bahwa akan ada kebahagiaan menyambutmu di ujung lorong kesedihanmu.

Aku udah bisa sebel karena menurutku dia memperlakukan aku kayak "freaking groupie" yang bakal nangis-nangis terharu cukup dengan ngeliat senyumnya. (Well, I do). Tapi sikapnya bener-bener menyebalkan saat aku mencoba memakai pilihan berteman yang dia tawarin ke aku. Dia bersikap dingin, seakan-akan aku ini fans yang ngejar-ngejar dia, dan dia berusaha buat gak terlalu berkaitan sama aku.

Ok, mungkin aku berlebihan. Tapi sungguh aku butuh alasan untuk membencinya, alih-alih menangis, meratapi kesalahan-kesalahanku di masa lalu, dan berharap masih ada sedikit celah di hatinya yang juga merindukan aku.

Rupanya kenormalan tidak begitu cocok di aku. Jadi setelah menjalani beberapa hari yang nyaris normal, aku, entah bagaimana, memberi ide (menurut versi fara&ferdi) ke mereka buat jalan bareng berlima; aku, bimo, fara, niken, ferdi. Sungguh, kebodohanku gak bisa ditinggal lebih lama dari tiga hari. :|

Setengah takut dan berharap, aku akhirnya ngajak bimo lewat sms tentang rencana pergi berlima. Dan aku gak kaget waktu dia bilang "liat-liat nanti" yang selalu jadi senjatanya buat bikin aku deg-degan sekaligus membenci diriku sendiri karena udah merendahkan diri ngajak dia dan dia begitu meninggikan dirinya, sehingga aku terlihat bahkan lebih rendah lagi. Dan kecil. Dan kebodohan yang selalu terjadi saat aku sms dia adalah sekeras apa pun usahaku buat nahan terjadinya kebodohan dalam bentuk over-excited atau pun over-care, aku tau itu akan sia-sia. Dan jadi lah di akhir sms aku nyemangatin dia karena statusnya yang cenderung emosional hari itu, tidak berharap banyak, hanya ucapan thank's atau mungkin sekedar =), tapi tidak. Tidak ada balasan. Ha ha ha. Aku merasa jadi orang paling garing sedunia karena telah nyemangatin dia lewat sms dan harusnya aku sadar itu tidak akan merubah apa pun dalam dirinya.

Ya, aku berhasil sebel ke dia gara-gara tragedi sms itu. Tapi tetep aja aku ngarepin dia sms aku. Paling gak buat tanya mo nonton apa, kapan, atau mungkin mengkonfirmasi kebisaannya buat hadir, tapi tidak. Dia memilih buat sms ferdi.

Malam sebelum hari yang ditentukan, aku pikir aku bakal biasa aja, cool, tapi tidak. Malam itu aku begadang sampai subuh sebelum akhirnya mataku menyerah karena kelelahan. Dan bangun lebih pagi dari biasanya untuk ukuran hari libur. Aku memasang alarm di HP jam 10, untuk berjaga-jaga siapa tau dia sms aku, tapi tidak. Aku bangun sebelum alarm di HP berbunyi dan tidak ada satu pun pesan di HPku. Jantungku berdetak tegas satu kali, sebelum akhirnya kembali ke tempo semula. Aku masih baik-baik saja.

Jam mendekati angka 11, ketika aku mendapati diriku mulai panik lagi dan memutuskan buat sms fara, niken, ferdi. Ternyata fara masih menthoring di SMADA dan mungkin bakal selesai sore, jadi gak mungkin kita nonton jam 1 kayak rencana awal. Niken bisa kapan aja. Ferdi bilang bimo masih berkutat pada "liat-liat nanti"nya. Dan aku menemukan alasan buat sebel sama dia lebih dari kemarin yang juga didukung oleh kekurangtiduranku. Ferdi rupanya bisa mendeteksi kekesalanku terhadap bimo dan bilang kalo bimo emang lagi ada acara (yang jamnya gak tentu). Akhirnya rencana nonton jam 1 diundur jam 5 sore.

Aku udah nungguin bimo sms dari jam setengah 4 (atau sebelumnya tanpa sadar). Mengira dia bakal nawarin buat jemput aku, tapi tidak. Dia bahkan gak ngasih kepastian ke ferdi mau dateng atau enggak. Dan apa yang jadi penghalangnya? Hujan. Ya, dia khawatir bakal kehujanan di perjalanan. Aku tau dia gak seneng hujan dan mesti nonton dengan basah-basahan, tapi dari situ aku bisa ngerasain kalo dia sebenernya ragu-ragu antara datang dan ketemu aku, atau tidak.

Dulu, kita selalu nonton film jam 5 sore. Padahal kalo musim hujan jam 4 adalah saat-saat paling rawan hujan. Dan apa yang dia katakan waktu itu? "Yang penting kita bisa ketemu".

Aku bener-bener kangen sama dia yang ngomong kayak gitu. :'(

Jam setengah 5, fara tiba-tiba sms dan bilang enggak bisa ikut nonton gara-gara mesti nganterin aji ke stasiun. Bimo belom ngasih kepastian dan sekarang fara bahkan bilang gak bisa ikut nonton?! Cukup sudah semua kegilaan ini. Aku sms ferdi dan bilang kalo aku gak jadi ikut nonton. Alasan sebenernya adalah karena aku gak mau bimo anggep aku udah ngerencanain ini semua, memanipulasi kehadiran fara, dan pas detik-detik terakhir tiba-tiba secara kebetulan tinggal kita berempat yang nonton? Berapa besar kemungkinan itu bukan manipulasi?? Dan waktu aku sms bilang buat gak nonton ternyata ferdi udah di jalan menuju ke niken. Aku sebenernya kasian sama ferdi karena dia harus nyetir sambil mbujuk aku supaya tetep nonton, tapi tidak. Aku udah capek dengan semua ketidakpastian, semua harapan palsu. Aku nolak ferdi buat pergi nonton, tapi sambil berangkat mandi. Hahaha. Ya, sebenernya ada bagian dari hatiku yang gak ngerelain aku buat nyerah gitu aja setelah semua kegilaan dan kebegadangan yang aku laluin.

Akhirnya setelah ferdi gagal, gantian niken yang sms dan bilang aku dijemput di depan rumah atau persahabatan kita berakhir gitu aja. Great! :|

Berjalan menaiki tangga bioskop aku setengah berharap dia gak dateng, jadi aku punya alasan buat membencinya, tapi tidak. Dia duduk di sana. Aku tau benar aku pasti keliatan super duper salah tingkah. Aku gak ngerti mesti ngomong apa dan akhirnya "Gak beli tiket?", dia: "udah kok" sambil senyum yang menghapus semua kegilaan pra-nonton tadi. Waktu mau masuk, dia sengaja mengatur langkah sehingga dia yang tadinya dan harusnya jalan di antara ferdi dan niken yang ada di depanku, sekarang jadi ada di belakangku, yang berarti juga menentukan posisi duduk kami, dari kanan ke kiri; ferdi, niken, aku, bimo. Dan aku membiarkan diriku GR pada saat itu, padahal sebenernya dia cuma tau diri dengan membiarkan ferdi dan niken duduk berdampingan. Lagian bakal jadi super duper garing (dan homo) kalo dia duduk di antara ferdi dan niken, atau di sebelah ferdi, cuma buat ngejauhin aku.

Di dalem bioskop...

Aku bener-bener gak bisa nemuin posisi duduk yang pewe, kalo dia duduk di sampingku sebagai temanku. Begitu juga dengan ketawa. Saat semua orang ketawa, aku berusaha meng'casual'kan ketawaku, tapi bahkan aku sendiri aneh dengerinnya. Tapi di tengah-tengah film, aku udah mulai kebiasa dan sedikit ngobrol dengan dia. Ada momen di saat dia ngusap-ngusap kepalaku, yang sebenernya bisa diitung dalam detik, tapi sebisa mungkin aku simpen perasaanku saat itu. Perasaan nyaman yang udah lama dan mungkin untuk waktu yang lebih lama lagi enggak ada. Aku mungkin akan berusaha mengingatnya lagi di saat-saat terkritisku.

Abis nonton, kita berempat ke minie, cafe tempat aku dan bimo biasa nongkrong, dulu. Yang tetap hanya lah secangkir Mc Chocolate-nya dan Flappucino Chocolate-ku. Suasanan lebih cair di sana. Kita bercanda seakan-akan gak terjadi sesuatu di antara kita. Niken bilang aku dan dia masih kayak orang pacaran, tapi cuma aku yang ngerasain celah di sana. Tidak tidak, bukan celah. Jurang lebih tepatnya. Ya, jurang yang mikroskopik. Dia menjaga jarak, sedikit banyak, tapi aku bisa ngerasainnya. Tapi tentu saja! Memangnya apa yang aku harapkan? Dia merapatkan kursinya ke aku? Hahaha. Naif. Tapi saat itu, saat aku bisa duduk berdekatan dengan kursinya, saat dia menggeser kursiku dekat di kursinya karena aku bilang aku merasa terpojokan, saat kita bisa becanda dan tertawa bersama lagi, saat aku melihatnya bercerita dengan penuh semangat dan semburat senyum di wajahnya, saat aku bisa sekedar menepuk pundaknya, saat aku bisa bilang "inget ga, yang waktu itu" seakan kita memang masih punya sejarah yang selama ini aku pikir udah dihapusnya, saat mata kami bertemu sesaat, saat itu lah aku merasa benar-benar bahagia. Aku bisa tertawa lepas. Aku bisa mengamati detail wajahnya dari samping. Bagaikan pecandu yang mendapatkan narkobanya kembali saat dia kambuh.

Dan beberapa puluh menit setelah aku diturunkan dari mobil, memasuki rumah, sendiri menikmati 'bahagia banget' yang tersisa dalam kamarku, aku tersadar bahwa itu mungkin saja narkoba terakhir yang bisa aku nikmatin. Mendadak bahagia itu menjadi sangat menusuk dan menghimpit. Baru lah aku tau kalo bahagia juga bisa menyakitkan. Tapi itu semua sepadan, karena ternyata aku masih mencintainya :')

Rabu, 27 Januari 2010

I should be happy

18 hari cukup untuk bikin orang berubah. Semua yang udah dilaluin, sama-sama, dia tinggal pencet tombol delete di hatinya dan BOOM! Hilang...

Kali ini berbeda. Bener-bener beda. Dia dingin. Sikapnya bikin hatiku menggigil. Dingin yang menusuk. Sakit dan hancur.

Aku lelah menangis. Air mata tidak cukup menghangatkan dinginnya hati. Dia tetap tidak bergeming.

He isn't the one

Harusnya kalo otakku bekerja dengan benar, otakku mampu meyakinkan hatiku untuk berpaling darinya. Tapi tidak. Otakku sudah terlalu lelah mencari-cari sudut pandangnya. Pun hatiku lelah berusaha menginginkan hatinya. Lelah yang takmampu ku hentikan.

Waktu lah satu-satunya harapanku

Sabtu, 23 Januari 2010

Dan ternyata satu lagi ketidakberuntungan dalam hal putus cinta adalah ngapa-ngapain jadi gak mood. You're just a dead body walking, eating, n bokering. -_-

Teori Angka Kembar di Jam Analog

Oke, jadi selama beberapa hari ini yang bikin aku bisa tetep bertahan dengan keputusan-Nya adalah dengan memikirkan keuntungan-keuntungan yang bisa aku dapetin kalo aku dan dia putus. So cekidot:

Keuntungan aku dan dia udah gak sama-sama lagi:
  1. Hemat waktu (gak usah nyesuain jadwal buat pulang dan sebagainya)
  2. Hemat biaya (no more valentine, birthday present, ongkos PP sby-malang)
  3. Hemat dosa (a lot)
  4. Bisa dapet yang lebih baik (amin)
  5. Mungkin aja 2012 nanti emang terjadi sesuatu dan mungkin (naudzubillah) salah satu di antara kita gak selamat, jadi kalo berpisah sekarang mungkin nanti gak akan sesakit itu kalo mesti kehilangan dengan cara seperti itu
  6. Lebih fokus belajar (walaupun aku ragu juga apa efeknya kalo gak ada dia)
  7. Punya waktu buat temen lebih banyak (point ini ngefeknya dikit)
  8. Hemat pulsa!!
  9. Hemat pikiran (enggak juga sih, malah lebih banyak sekarang)
Kerugian aku dan dia udah gak sama-sama lagi:
  1. Kangen gilaaaa gak ada obatnya
  2. Sayang tapi gak bisa bilang sayang
  3. Mesti tahan ngeliat dia sama cewek lain
  4. Gak ada yang faktor penarik buat pulang
  5. Gak bisa ketemu Faiz (ponakannya yang lucu seantariksaaaa) T.T
  6. No more valentine's day, birthday present, keliling-keliling Surabaya atau Malang
  7. Gak ada lagi tempat curhat yang paling klik
  8. Gak ada lagi yang ngasih perhatian dan semangat yang begitu intens



si Faiz lagi di Pantai
(sebenernya banyak banget fotonya lucu-lucu gitu, bingung mo upload yang mana)

Kalo dilihat secara kuantitas, faktor keuntungan emang lebih banyak kan? Jadi kenapa aku mesti sedih? (T.T) Soalnya faktor keuntungan tuh aku ngarang sendiri dan dihadapkan dengan faktor kekurangan yang emang sekarang ini lagi aku rasain, huahuahuahuaa....!!

Sigh...blogku semakin gak berisi gara-gara tetek-bengek perputusan ini :(

Konon setiap kali kamu gak sengaja ngeliat jam analog dengan angka kembar (misal: 01.01) itu berarti ada yang kangen sama kamu. Ya ya ya ya, aku ngerti kayaknya konyol dan kekanak-kanakan banget, udah ga jelas sumbernya, apa hubungan juga jam kembar sama kangen? Mungkin aja orang yang nyiptain teori itu emang lagi hopeless kayak aku nungguin sms dengan tiap detik ngeliatin HP, ngecek siapa tau ada sms masuk tapi aku gak denger atau soundnya HPku lagi rusak. Dan kemudia si orang itu akhirnya beberapa kali secara tidak sengaja ngeliat jam analog dengan angka kembar. Si hopelessman (orang tadi red.) yang saat itu emang lagi mencari sekecil mungkin pertanda yang datang, ngeliat angka kembar tadi sebagai pertanda. Dan dengan wajah berbinar-binar palsu, hopelessman mengartikan angka kembar tadi sebagai tanda bahwa dia masih punya harapan. Bahwa ya, mungkin orang yang di nanti-nantinya di sana sebenernya juga lagi menanti dia, mikirin dia, kangenin dia, cuma terbentur masalah gengsi aja. Dan begitu lah teori ku tentang awal mula teori angka kembar jam analog dibentuk. Bodohnya teori itu aku serap begitu saja.

Harapan hidupku tiap hari bergantung pada angka kembar jam analog. Dengan secara tidak sengaja ngeliat angka kembar itu berarti aku masih punya harapan. Setidaknya, dia di sana juga masih kangen aku, walaupun mungkin enggak sesering dan sebesar aku. Tapi semua teori tentang angka kembar tadi runtuh seketika waktu aku tanyak bimo (setelah putus kita sempet ketemuan 2x); "Kamu akhir-akhir ini sering ngeliat jam gak?" dan dengan innocentnya dia jawab; "enggak tuh". GRADAGRADAKGRADAKkkkk....runtuh udah harapan palsu tentang segala teori jam itu. Aku udah mau tanya lagi apa akhir-akhir ini bulu matanya sering jatuh (bulu mata jatuh juga artinya ada yang kangen :P) tapi aku batalin ngeliat bulu-bulu matanya yang masih lebat terpampang dengan lentiknya masih di kelopak matanya. Well, kalo teori jam analog itu bener, kalo teori bulu mata itu bener, seharusnya sekarang dia udah ngeliat angka kembar mulu tiap kali ngeliat jam dan mungkin di kelopaknya udah gundul gak punya bulu mata sekarang, karena aku kangen berat di tiap detiknya (lebay). Jadi ternyata itu salah dan tidak terbukti, tapi toh aku juga masih (pengen) tetep percaya kalo tiap ada angka kembar di jam analog itu berarti dia masih sempet kangen aku. xP

Rabu, 20 Januari 2010

Hari ke-11

Udah seminggu lebih empat hari sejak 9 Januari 2010 (liat posting sebelumnya)

Waktu berjalan lambat. Aku pikir ini mungkin udah hampir tiga minggu sejak aku dan dia resmi putus, ternyata ini bahkan baru pertengahan minggu kedua. Aku mengecheck kalender di HPku sekali lagi, dan ya...ternyata aku ga salah liat atau salah itung tanggal. Ini baru 11 hari berlalu sejak kejadian itu, tapi rasanya lebih lama dari seumur hidup kebo.

Hari-hari aku lewatin dengan menguatkan diriku sendiri. Mengingatkan diriku untuk tetap bernafas dari detik ke detik. Memikirkan keuntungan-keuntungan aku putus dengannya dan berusaha menancapkannya ke otakku. Mengulang-ulang berharap otakku mau merekamnya. Berusaha menyadarkan diriku pada fakta bahwa dia di sana, di kotanya, saat ini bahkan sedang bersenang-senang dengan teman-temannya, atau mungkin juga terlalu sibuk dengan klub fotografinya, sehingga otaknya tidak cukup besar untuk menampungku, atau mengingat-ingat aku. Dan fakta bahwa sementara aku di sini mengais-ngais arti di balik status facebooknya "can't speak at all,,hope u know the best answer from your own..", dia bahkan mungkin udah lupa pernah masang status itu di facebooknya. Atau lebih parahnya lagi, ada bermilyar-milyar kemungkinan kalau "you" di situ sebenernya bukan ditujukan untuk aku dan gak ada hubungannya sama sekali denganku. Great!


Aku selalu berfikir.. Kalo aku masih sayang dia, dan dia masih sayang aku, lalu kenapa kita harus berpisah? Kenapa gak kita akhiri aja pertengkaran ini dan kembali berhubungan lagi, saling memiliki, saling menguatkan, saling beradaptasi, memperbaiki hubungan ini kembali? Kenapa harus dengan jalan berpisah? Bukan kah perpisahan itu menyakitkan? Setidaknya bagiku.. Perpisahan berarti gak ada kamu lagi. Kamu seutuhnya yang dulu aku miliki. (ok, lebay. Emang ga seutuhnya berhubung aku belum nikah dan gak ada manusia yang bisa dimiliki utuh 100% oleh manusia lain kecuali dalam film)


Tapi apa jawabmu?
Sesuatu tentang mungkin dengan gini kita bisa lebih bahagia...
Sesuatu tentang mungkin dengan gini kita bisa dapet yang lebih baik, yang lebih bisa ngertiin kita...
Sesuatu tentang mungkin dengan gini kita tidak akan terjatuh terlalu dalam dan sakit saat nantinya kita harus berpisah...

Terlambat...
Aku sudah jatuh...dan lumayan dalam sebatas pengukuranku...
Dan ya, ternyata dia memang lebih bahagia hidup seperti ini. Dia lebih nyaman dan bahkan tidak merasakan kesepian saat aku tidak lagi ada di inbox HPnya. Dia terbebas dari riak-riak pertengkaran kecilku dengannya yang selama ini memenuhi isi otaknya dan menghabiskan energinya dan merubah moodnya yang memang naik turun tak tentu.
Ya, dia bahagia hidup seperti ini...

Dan kuakui aku lah orang teregois seantariksa karena menginginkannya tidak bahagia dengan kondisi seperti ini. Aku menginginkannya merana memikirkan diriku dalam malam-malam sepi sama seperti yang selama 11 hari ini aku lakukan sebelum aku beranjak tidur. Aku harus berkonsentrasi untuk tidak memikirkannya sebelum aku tidur. Tapi bagaimana bisa aku tidur bila aku terus berkonsentrasi? Sungguh kewarasanku dipertaruhkan dalam hal ini.

11 hari aku nyaris tidak makan nasi. Bakso semangkuk sudah cukup membuatku kenyang dalam sehari. Gak heran berat badanku turun. Bagus juga sih sebenernya. Bukan berarti aku sengaja menyiksa diriku dan berusaha mendramatisir keadaanku sendiri. Aku hanya gak nafsu makan.

bimobimobimobimobimo
bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimo bimobimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo bimobimobimobimobimo

Terkadang kusebut namanya hingga berulang-ulang kali, berharap maknanya akan memudar pada hitungan ke-sekian ratus kalinya, namun tidak, nama itu masih memiliki makna yang sama di hatiku. Bisa gila aku dibuatnya. Mungkin aku memang keliatan seperti tipe mantan yang psyco (terutama kalo dia baca postingan ini). Creepy. Tapi paling gak sekarang aku udah bisa ngontrol air mataku. Walaupun kadang-kadang rasanya bener-bener udah di pelupuk mata, tapi frekuensi nangisku udah berkurang drastis. Sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat aku ini orang yang cengeng dan terkadang suka mendramatisir keadaan.

Bimo bener. Aku mungkin emang kesepian. Hal ini lah yang semakin mendukung aku buat inget diaaaaaaa terus sepanjang hari selama masa liburanku. Dan dia di sana sekali lagi ingatan yang berusaha aku tanamkan pada otakku, tidak sendirian, mengingat temen-temen ceweknya yang suka sms dia gak penting, bahkan pada saat kita masih pacaran dulu dan sukses ngurangin jatah pulsa buat aku (bukan berarti aku posesif dan sebagainya, gak apa-apa sih kalo sekali-kali sms, tapi ini hampir tiap hari! wow!). Dan pasti salah satu di antara mereka ada yang naksir Bimo. Dia juga tau itu. Walaupun aku juga tau kalo dia gak berencana pacaran dalam waktu dekat ini (aku masih percaya dia bukan tipe orang yang gampang naksir cewek). Yah, tapi paling gak dia gak kesepian dan itu berarti harapanku buat balikan semakin kecil. Special thank's to temen-temen ceweknya Bimo yang selalu nemenin dia! -_-"

Ok, let see where this flow would take me...

Sabtu, 09 Januari 2010

Mantan Pacar Kedua

3 Desember 2006.
Hari itu aku menjawab YA buat pertanyaannya dan kita pun resmi pacaran.

Dia...

Tipe orang yang cuek tapi kadang bisa manis juga. Orangnya simpel, makanya kalo ada masalah yang ruwet dikit dia gampang nyerah. Dia cenderung menghindari hal-hal yang terlalu rumit. Ekspresi wajahnya lucu kalo lagi cerita. Bibirnya memerah kalo kepedesan. Ya, dia emang ga tahan pedes, bukan berarti ga suka. Senyumnya... Sesaat aku melihat pandangan matanya yang sayu memandangku di kegelapan studio bioskop. Rambutnya keriting berantakan, semakin lucu kalo habis aku berantakin. Dia pendengar yang baik. Semua uneg-uneg tentang temen-temenku, keseharianku, dia tempat sampah yang spesial. Dia hobi nonton, sama kayak aku yang sama-sama gila film. Kadang dia bisa jadi sangat penyabar ngadepin aku. Ga peduli seberapa gilanya aku. Tapi kadang dia juga bisa over sensitive dan bikin semua yang aku omongin jadi salah. Dan saat kita bertengkar, saat itu juga dia merasa nyerah. Dia ga suka bertengkar. (Siapa juga yang suka?) Tapi dia bahkan ga tahan. Pertengkaran itu menguras energinya. Dia terlalu simpel untuk hal serumit itu. Dia selalu bilang capek. Tapi aku ga pernah ngebiarin dia nyerahin hubungan ini gitu aja. Bagiku putus itu menyakitkan. Jelas aja. :'(

Tapi hari ini berbeda. Aku tau dia terus mengungkit tentang betapa berbedanya aku dan dia. Dan gimana perbedaan itu semakin nyata dengan latar belakang kita yang berbeda. Berkali-kali aku yakin kan dia, perbedaan bukan halangan kalo aku dan dia masih saling menyayangi. Kita bisa memaklumi satu sama lain. Tapi dia selalu bilang gak sesimpel itu. Hari ini, akhirnya setelah 3 tahun berusaha menjaga hubunganku dengan dirinya, aku menyerah. Aku menyerah, karena selama 3 tahun ini aku telah berusaha semampuku, begitu pula dia. Namun aku lihat dia, keinginannya tidak kuat untuk mempertahankanku. Aku tidak cukup berharga untuk dipertahankannya. (Kalo baca postingan ini dia pasti mikir aku negative thinking, tapi memang begitu adanya) Maka aku putuskan untuk menyerah.

Good bye my almost lover...

Good bye my hopeless dream...
I love you for the last time...

orang simpel terkompleks, bpa...