Minggu, 31 Januari 2010

Tapi Tidak

Beberapa hari terakhir ini hidupku nyaris mendekati normal. Aku bahkan udah bisa ketawa. Sejak aku nemuin dvd gossip girl 1 season yang dulu-dulu belom sempet aku sentuh. Berkencan dengan dvd gossip girl every night and every day, paling gak drama seri itu ngasih aku harapan baru. Bahwa ya, hidup gak pernah sesimpel yang kita rencanain. Dan bahwa akan ada kebahagiaan menyambutmu di ujung lorong kesedihanmu.

Aku udah bisa sebel karena menurutku dia memperlakukan aku kayak "freaking groupie" yang bakal nangis-nangis terharu cukup dengan ngeliat senyumnya. (Well, I do). Tapi sikapnya bener-bener menyebalkan saat aku mencoba memakai pilihan berteman yang dia tawarin ke aku. Dia bersikap dingin, seakan-akan aku ini fans yang ngejar-ngejar dia, dan dia berusaha buat gak terlalu berkaitan sama aku.

Ok, mungkin aku berlebihan. Tapi sungguh aku butuh alasan untuk membencinya, alih-alih menangis, meratapi kesalahan-kesalahanku di masa lalu, dan berharap masih ada sedikit celah di hatinya yang juga merindukan aku.

Rupanya kenormalan tidak begitu cocok di aku. Jadi setelah menjalani beberapa hari yang nyaris normal, aku, entah bagaimana, memberi ide (menurut versi fara&ferdi) ke mereka buat jalan bareng berlima; aku, bimo, fara, niken, ferdi. Sungguh, kebodohanku gak bisa ditinggal lebih lama dari tiga hari. :|

Setengah takut dan berharap, aku akhirnya ngajak bimo lewat sms tentang rencana pergi berlima. Dan aku gak kaget waktu dia bilang "liat-liat nanti" yang selalu jadi senjatanya buat bikin aku deg-degan sekaligus membenci diriku sendiri karena udah merendahkan diri ngajak dia dan dia begitu meninggikan dirinya, sehingga aku terlihat bahkan lebih rendah lagi. Dan kecil. Dan kebodohan yang selalu terjadi saat aku sms dia adalah sekeras apa pun usahaku buat nahan terjadinya kebodohan dalam bentuk over-excited atau pun over-care, aku tau itu akan sia-sia. Dan jadi lah di akhir sms aku nyemangatin dia karena statusnya yang cenderung emosional hari itu, tidak berharap banyak, hanya ucapan thank's atau mungkin sekedar =), tapi tidak. Tidak ada balasan. Ha ha ha. Aku merasa jadi orang paling garing sedunia karena telah nyemangatin dia lewat sms dan harusnya aku sadar itu tidak akan merubah apa pun dalam dirinya.

Ya, aku berhasil sebel ke dia gara-gara tragedi sms itu. Tapi tetep aja aku ngarepin dia sms aku. Paling gak buat tanya mo nonton apa, kapan, atau mungkin mengkonfirmasi kebisaannya buat hadir, tapi tidak. Dia memilih buat sms ferdi.

Malam sebelum hari yang ditentukan, aku pikir aku bakal biasa aja, cool, tapi tidak. Malam itu aku begadang sampai subuh sebelum akhirnya mataku menyerah karena kelelahan. Dan bangun lebih pagi dari biasanya untuk ukuran hari libur. Aku memasang alarm di HP jam 10, untuk berjaga-jaga siapa tau dia sms aku, tapi tidak. Aku bangun sebelum alarm di HP berbunyi dan tidak ada satu pun pesan di HPku. Jantungku berdetak tegas satu kali, sebelum akhirnya kembali ke tempo semula. Aku masih baik-baik saja.

Jam mendekati angka 11, ketika aku mendapati diriku mulai panik lagi dan memutuskan buat sms fara, niken, ferdi. Ternyata fara masih menthoring di SMADA dan mungkin bakal selesai sore, jadi gak mungkin kita nonton jam 1 kayak rencana awal. Niken bisa kapan aja. Ferdi bilang bimo masih berkutat pada "liat-liat nanti"nya. Dan aku menemukan alasan buat sebel sama dia lebih dari kemarin yang juga didukung oleh kekurangtiduranku. Ferdi rupanya bisa mendeteksi kekesalanku terhadap bimo dan bilang kalo bimo emang lagi ada acara (yang jamnya gak tentu). Akhirnya rencana nonton jam 1 diundur jam 5 sore.

Aku udah nungguin bimo sms dari jam setengah 4 (atau sebelumnya tanpa sadar). Mengira dia bakal nawarin buat jemput aku, tapi tidak. Dia bahkan gak ngasih kepastian ke ferdi mau dateng atau enggak. Dan apa yang jadi penghalangnya? Hujan. Ya, dia khawatir bakal kehujanan di perjalanan. Aku tau dia gak seneng hujan dan mesti nonton dengan basah-basahan, tapi dari situ aku bisa ngerasain kalo dia sebenernya ragu-ragu antara datang dan ketemu aku, atau tidak.

Dulu, kita selalu nonton film jam 5 sore. Padahal kalo musim hujan jam 4 adalah saat-saat paling rawan hujan. Dan apa yang dia katakan waktu itu? "Yang penting kita bisa ketemu".

Aku bener-bener kangen sama dia yang ngomong kayak gitu. :'(

Jam setengah 5, fara tiba-tiba sms dan bilang enggak bisa ikut nonton gara-gara mesti nganterin aji ke stasiun. Bimo belom ngasih kepastian dan sekarang fara bahkan bilang gak bisa ikut nonton?! Cukup sudah semua kegilaan ini. Aku sms ferdi dan bilang kalo aku gak jadi ikut nonton. Alasan sebenernya adalah karena aku gak mau bimo anggep aku udah ngerencanain ini semua, memanipulasi kehadiran fara, dan pas detik-detik terakhir tiba-tiba secara kebetulan tinggal kita berempat yang nonton? Berapa besar kemungkinan itu bukan manipulasi?? Dan waktu aku sms bilang buat gak nonton ternyata ferdi udah di jalan menuju ke niken. Aku sebenernya kasian sama ferdi karena dia harus nyetir sambil mbujuk aku supaya tetep nonton, tapi tidak. Aku udah capek dengan semua ketidakpastian, semua harapan palsu. Aku nolak ferdi buat pergi nonton, tapi sambil berangkat mandi. Hahaha. Ya, sebenernya ada bagian dari hatiku yang gak ngerelain aku buat nyerah gitu aja setelah semua kegilaan dan kebegadangan yang aku laluin.

Akhirnya setelah ferdi gagal, gantian niken yang sms dan bilang aku dijemput di depan rumah atau persahabatan kita berakhir gitu aja. Great! :|

Berjalan menaiki tangga bioskop aku setengah berharap dia gak dateng, jadi aku punya alasan buat membencinya, tapi tidak. Dia duduk di sana. Aku tau benar aku pasti keliatan super duper salah tingkah. Aku gak ngerti mesti ngomong apa dan akhirnya "Gak beli tiket?", dia: "udah kok" sambil senyum yang menghapus semua kegilaan pra-nonton tadi. Waktu mau masuk, dia sengaja mengatur langkah sehingga dia yang tadinya dan harusnya jalan di antara ferdi dan niken yang ada di depanku, sekarang jadi ada di belakangku, yang berarti juga menentukan posisi duduk kami, dari kanan ke kiri; ferdi, niken, aku, bimo. Dan aku membiarkan diriku GR pada saat itu, padahal sebenernya dia cuma tau diri dengan membiarkan ferdi dan niken duduk berdampingan. Lagian bakal jadi super duper garing (dan homo) kalo dia duduk di antara ferdi dan niken, atau di sebelah ferdi, cuma buat ngejauhin aku.

Di dalem bioskop...

Aku bener-bener gak bisa nemuin posisi duduk yang pewe, kalo dia duduk di sampingku sebagai temanku. Begitu juga dengan ketawa. Saat semua orang ketawa, aku berusaha meng'casual'kan ketawaku, tapi bahkan aku sendiri aneh dengerinnya. Tapi di tengah-tengah film, aku udah mulai kebiasa dan sedikit ngobrol dengan dia. Ada momen di saat dia ngusap-ngusap kepalaku, yang sebenernya bisa diitung dalam detik, tapi sebisa mungkin aku simpen perasaanku saat itu. Perasaan nyaman yang udah lama dan mungkin untuk waktu yang lebih lama lagi enggak ada. Aku mungkin akan berusaha mengingatnya lagi di saat-saat terkritisku.

Abis nonton, kita berempat ke minie, cafe tempat aku dan bimo biasa nongkrong, dulu. Yang tetap hanya lah secangkir Mc Chocolate-nya dan Flappucino Chocolate-ku. Suasanan lebih cair di sana. Kita bercanda seakan-akan gak terjadi sesuatu di antara kita. Niken bilang aku dan dia masih kayak orang pacaran, tapi cuma aku yang ngerasain celah di sana. Tidak tidak, bukan celah. Jurang lebih tepatnya. Ya, jurang yang mikroskopik. Dia menjaga jarak, sedikit banyak, tapi aku bisa ngerasainnya. Tapi tentu saja! Memangnya apa yang aku harapkan? Dia merapatkan kursinya ke aku? Hahaha. Naif. Tapi saat itu, saat aku bisa duduk berdekatan dengan kursinya, saat dia menggeser kursiku dekat di kursinya karena aku bilang aku merasa terpojokan, saat kita bisa becanda dan tertawa bersama lagi, saat aku melihatnya bercerita dengan penuh semangat dan semburat senyum di wajahnya, saat aku bisa sekedar menepuk pundaknya, saat aku bisa bilang "inget ga, yang waktu itu" seakan kita memang masih punya sejarah yang selama ini aku pikir udah dihapusnya, saat mata kami bertemu sesaat, saat itu lah aku merasa benar-benar bahagia. Aku bisa tertawa lepas. Aku bisa mengamati detail wajahnya dari samping. Bagaikan pecandu yang mendapatkan narkobanya kembali saat dia kambuh.

Dan beberapa puluh menit setelah aku diturunkan dari mobil, memasuki rumah, sendiri menikmati 'bahagia banget' yang tersisa dalam kamarku, aku tersadar bahwa itu mungkin saja narkoba terakhir yang bisa aku nikmatin. Mendadak bahagia itu menjadi sangat menusuk dan menghimpit. Baru lah aku tau kalo bahagia juga bisa menyakitkan. Tapi itu semua sepadan, karena ternyata aku masih mencintainya :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar